Tanggal 28 Oktober lalu Ibu saya berulang Tahun. Ingin sekali rasanya bisa memberikan sesuatu yang bermakna untuk beliau. Mumpung sekarang saya sudah bekerja, saya bisa membeli sesuatu yang jadi kesukaan Ibu.
Saya bukanlah orang yang romantis, jarang memberi kejutan, termasuk dengan keluarga sendiri. Bahkan untuk memberi kado Ibu, saya merasa perlu untuk menelepon terlebih dahulu apa yang beliau inginkan (anak yang menyebalkan, bukan?)
Saya pikir karena domisili saya yang sangat jauh dari orang tua, saya akhirnya memutuskan untuk mengirimkan sesuatu yang menjadi ciri khas kota domisili saya sekarang. Empek-empek Palembang (kebetulan Ibu sangat suka), coklat Van Houten, dompet bermerk favoritnya biarpun tidak semahal aslinya (bisa dibunuh Bapak kalau saya menghabiskan ratusan bahkan jutaan rupiah hanya demi sebuah dompet yang belum tentu nilai isinya lebih besar dari harganya), juga Kamus Inggris-Indonesia tebal untuk Adik saya. Kebetulan Adik saya berulang tahun 3 hari setelah hari ulang tahun Ibu, dan memang Kamus itulah satu-satunya hal yang diinginkannya.
Sebelumnya dalam percakapan telepon, Ibu tidak meminta apa-apa. Beliau hanya menginginkan saya untuk hemat. Untuk menabung. Keluarga sedang dalam ekonomi sulit. Lagipula siapa tahu nanti ada keperluan mendadak. Dalam percakapan telepon itu juga, saya sempat berbicara dengan Adik paling bungsu. Masih SD, Shetha namanya.
Begini kira-kira potongan pembicaran kami;
Saya: “Halo Shetha, lagi ngapain?”
Shetha: “Lagi nonton tipi. Kak Titi kapan ke sini?”
Saya: “Mungkin tahun depan. O iya, bentar lagi kan ibuk ulang tahun, kamu ngasi kado apa?
Shetha: “Aku belum bisa ngasi. Aku ga punya uang. Aku ngasi ucapan selamet aja.”
Saya: “Lho, emang ngasi kado harus punya uang dulu?”
Shetha: “Emang bisa kalo ga punya uang?”
Saya: “Bisa…. Dulu pas Titi seumuran kamu, Titi nabung tiap hari, biarpun cuma bisa seratus perak. Dulu Titi cuma bisa beliin Ibu susu anget ama cokelat kesukaannya. Pake nyalain lilin batangan, trus ucapin deh, selamet ulang tahun. Yang penting niat.”
Shetha: “Oo, kayak gitu ya? Iya deh, nanti aku coba.”
(Kalimat terakhirnya terdengar bersemangat sekali).
Saya tahu persis bagaimana Shetha dengan masa kecilnya. Tak jarang dia menunjukkan sikap lebih dewasa dari saya, dari kakak-kakaknya bahkan dari orangtuanya sendiri. Ya, itu Shetha, adik kebanggaan satu-satunya yang sering dibanding-bandingkan dengan saya yang kata orang sudah sukses di rantauan tapi masih begini-begini saja.. Shetha yang berhasil meyakinkan orangtua dengan calon suami Saudari saya. Shetha yang berhasil mencairkan suasana rumah yang semakin hari semakin membeku bahkan hampir hilang kepercayaan masing-masing penghuninya. Shetha yang berhasil membuat seorang anak berbibir sumbing mau kembali ke sekolah setelah mengalami trauma panjang dengan cemooh teman-temannya. Shetha yang justru melindungi temannya setelah temannya itu memukulinya sampai berdarah. Shetha yang sering menolak pemberian kue kecil dari tetangga dengan alasan tetangga itu masih memiliki anak kecil yang menurutnya lebih pantas diperhatikan. Shetha yang berhasil membujuk Bapak dengan segala cara untuk tidak menghisap rokok lagi (saya ingat betul bagaimana dia meninggalkan layang-layangnya dan berlari sambil ngamuk-ngamuk mengejar Bapak yang ketahuan membeli sebatang rokok di warung. Shetha yang sering dibilang bodoh oleh orang-orang termasuk gurunya sendiri, padahal buat saya kecerdasannya melebihi siapapun. Semakin hari saya melihat perkembangan dan pertumbuhan pola pikirnya, semakin malu hati ini dibuatnya. Tidak sebanding rasanya jika semua cerita tentang kehidupan saya selalu dibesar-besarkan oleh Ibu. Ibu ingin Shetha punya teladan, punya contoh supaya tetap semangat dalam hidupnya. Dan memang itulah yang terjadi. Shetha selalu menjadikan saya sebagai sosok kakak yang harus ia contoh. Dan buat saya beban itu terlalu berat. Saya jauh dari sempurna. Bahkan tanpa seorangpun tahu, kadang saya menangis sendirian mengingat keburukan kekotoran, dan kebodohan saya yang selalu saya tutupi dengan senyuman dan kesabaran.
Dan sudah menjadi kebiasaan kami kakak-kakaknya, yang lupa bahwa Shetha hanyalah anak kecil. Dia hanyalah anak SD yang baru masuk kemarin. Kami lupa bahwa perbedaan usia antara kami dan Shetha terpaut belasan tahun. Kadang kami membebaninya terlalu berat. Dia terpaksa harus mengerti kondisi keluarga sementara mengesampingkan kebutuhannya sebagai anak-anak. Bermain-main dan memperoleh kasih sayang.
Beberapa hari setelah itu terdengar kabar dari Saudari perempuan saya, tentang tingkah adik semata wayang kami itu.
Kakak: “Eh Tri, udah tau belum, ceritanya Shetha di sekolahnya? Nangis, dia.”
Saya: “Emang kenapa dia? Berantem?”
Kakak: “Gini ceritanya, hari Kamis lalu(tanggal 28 Oktober), dia dapet pelajaran Budi Pekerti di kelasnya. Entah apa yang ada di kepala anak itu, pas Bu Gurunya nyeritain tentang kasih sayang seorang Ibu, pengorbanan Ibu, bagaimana seorang anak harus menghormati ibunya, eh,.. dianya nangis. Mukanya ditelungkupkan ke meja. Sesenggukan. Temen-temennya sampe ngerubungi, bu Gurunya juga. Semua pada nanya kenapa dia nangis. Sambil sesenggukan, Shetha bilang kalo dia inget ibunya di rumah. Dia bilang kalau dia ga bisa jadi anak yg berbakti, bahkan udah berusaha semampu dia, tapi tetap ga bisa ngasi apapun ke Ibuk. Padahal hari ini ulang tahunnya Ibuk. Dia cerita tentang kondisinya di rumah, tentang ibuk, tentang keadaan rumah, tentang keluarga kita. Ceritanya dia bikin temen-temennya terenyuh. Tanpa dikomando sama siapapun, semua temen sekelasnya berinisiatif keluar kelas saat itu juga buat nyariin Shetha bunga mawar. Shetha dikasi dua tangkai. Satu untuk Ibuk, satu untuk Shetha. Temen-temen sekelasnya juga nyumbang duit buat Shetha demi bisa beli sesuatu buat Ibuk. Dan sepulang dari pelajaran Budi Pekerti itu, satu kelasnya Shetha berbondong-bondong ke rumah, nganterin Shetha sekalian pengen nyari Ibuk. Yang jelas Ibuk kaget. Temen-temennya nyanyi lagu Selamat Ulang Tahun trus ngucapin doa satu-satu ke Ibu. Kalo dipikir-pikir lucu ya, Tri.. kok bisa ya dia punya pikiran gitu. Sementara dia sendiri ga terlalu mikirin perayaan ulang tahunnya sendiri. Biasanya anak laki-laki kan jarang punya tingkat emosional kayak gitu..”
Saat itu dengan telepon masih nempel di kuping, air mata saya bercucuran. Bukan kebiasaan keluarga kami untuk menunjukkan sikap berlebay-lebay seperti ini. Keluarga kami tergolong jaim. Cuek. Jauh dari nilai kekeluargaan seperti di sinetron keluarga Cemara. Dengan suara tertahan saya masih melanjutkan percakapan.
Saya: “Itu beneran Shetanya kita kan? Bukan cerita karanganmu? Hahaha, ada-ada aja……………….”