Rabu, 28 April 2010

Perpisahan yang Sudah Waktunya

saya suka membaca tulisan Dee (Dewi Lestari) di blognya. pernah suatu ketika saya membaca tulisannya yang berjudul "catatan tentang perpisahan". ditulis tahun 2008, tapi baru saya baca tahun ini.

lepas dari niat mendompleng nama tenar Dee dalam dunia tulisan, saya hanya hendak memaparkan apa yang saya rasa, yang membuat saya "gatal" ingin berbagi karena saya tidak tahu kemana lagi harus mencurahkan apa yang selama ini saya pendam. sahabat saya terpencar ke seantero provinsi di Indonesia, karena tanggung jawab pekerjaan kami yang memang sejenis.

perpisahan yang ada di pikiran saya mungkin sejenis seperti yang tergambar dari tulisan Dee. saya tak bisa bilang "sama" atau "persis" seperti Dee karena isi pikiran kami toh hanya kami masing-masing yang tahu. saya setuju bahwa perpisahan sama eksisnya dengan pertemuan dan saling melengkapi seperti dua sisi koin yang saling berseberangan dan menempel satu sama lain. kita semua setuju.
kenyataan yang sering kita temui seringkali perpisahan itu disesali, ditangisi, diumpat, dan berbagai penyesalan dalam bentuk lain yang tergambar sebagai efek dari perpisahan itu sendiri. seperti yang banyak dilakukan sahabat2 saya termasuk saya sendiri dalam perpisahan seusai pelatihan di Makassar beberapa minggu lalu.

pada awalnya siapapun tak kan pernah siap dengan perpisahan. belum siap berhenti untuk menikmati kondisi nyaman yang timbul karena kebersamaan atau pertemuan.
padahal kita semua sudah tahu, dalam sebuah hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab suatu perpisahan. seperti dalam "catatan tentang perpisahan", penyebab yang paling dasar menurut saya adalah: memang sudah waktunya. hidup punya kadaluarsa. hubungan pun sama. entah hubungan pertemanan, pacaran, bahkan pernikahan.
saya tekankan di sini kadaluarsa hubungan pertemanan yang saya maksud bukan berakhirnya pertemanan, tapi pertemanan yang tidak sama seperti kondisi dulu lagi ketika semua bisa dan biasa dilakukan bersama karena kedekatan masing-masing.

saya punya definisi sendiri tentang kata "perpisahan". perpisahan bisa terjadi ketika fisik tak lagi dekat karena jarak. dalam hal ini saya tak mempermasalahkan jarak sebab sejak empat tahun yang lalu saya sadar bahwa saya memilih hidup di rantauan, dengan pekerjaan yang kurang memungkinkan untuk tinggal menetap di satu tempat apalagi dengan keluarga. jarak akhirnya justru menjadi sahabat saya yang paling awet. di saat saya mulai berpisah dengan para sahabat, hanya jarak yang tersisa diantara kami.

alasan kedua, perpisahan juga bisa terjadi karena hati tak lagi dekat, karena sesuatu yang sulit kita ungkapkan. sesuatu yang sulit dijelaskan itulah yang akhirnya dicari-cari, dijadikan penyebab, bahkan jika dibumbui dengan pikiran negatif akhirnya dijadikan objek pelampiasan kesalahan. misalnya saja ketika sepasang kekasih memutuskan hubungan mereka. otomatis orang2 sekitar akan bertanya alasan penyebab kegagalan hubungan.

di saat rasa kecewa menguasai, orang sering mencari pelampiasan dengan mencari penyebab kekecewaan mereka. jika tidak, ketenangan jiwa kita bisa terusik. beberapa orang sekitar saya yang curcol ternyata mempunyai masalah yang sama: sibuk mencari alasan ketika tak siap dengan perpisahan. ada hal yang belum sempat dituntaskan, masih memiliki pertanyaan besar yang belum diketahui jawabannya, hingga akhirnya malah mengganggu ketenangan jiwa salah satu atau beberapa pihak, atau yang paling parah justru mengubah seseorang menjadi psikopat!

mencongkel dari pengalaman pribadi, saya sempat memiliki pengalaman menjadi "pencari alasan" perpisahan saya dengan seseorang yang saya kagumi, sosok yang sangat saya inginkan saat itu. berbulan-bulan lamanya saya terganggu dengan perasaan kecewa, minder, merasa bodoh dan sebagainya. saat itu saya butuh jawaban langsung. setelah merasa cukup siap, saya mendatangi tempat orang tersebut dengan menempuh perjalanan sejauh 977 km Jakarta-Tabanan untuk pencarian alasan. hanya untuk mencari jawaban. setelah saya temui, yang bersangkutan masih tetap sama seperti dulu. bahkan cenderung lebih buruk. anehnya rasa penasaran itu hilang. saya tidak lagi mencari alasan. yang saya butuhkan selama berbulan-bulan itu ternyata hanyalah rasa "menerima" yang sumbernya dari dalam diri sayasendiri..

u can't forget if u can't forgive sepertinya benar..

kesibukan mencari alasan membuat saya lupa bahwa ada cara lain untuk tenang. ada jawaban tunggal atas pertanyaan sejenis yang telah menyerang saya bertubi-tubi: perpisahan ini sudah waktunya.

seperti siklus pada umumnya yang berputar seperti lingkaran, akan ada fase  pertemuan dan perpisahan bagai dua mata koin yang saling melengkapi walaupun berseberangan. perpisahan juga punya masanya. orang-orang yang belum bisa menerima mungkin akan mencari atau membuat alasan untuk menenangkan dirinya sendiri. sepasang kekasih yang berpisah karena rasa bosan, ada orang ketiga, pasangan sudah berubah, pasangan dikatakan berselingkuh, semua cuma modifikasi dari alasan "perpisahan yang sudah waktunya". kalau toh belum waktunya, alasan apapun tak akan memisahkan mereka. tak akan ada yang protes karena perubahan pada diri seseorang, tak akan ada hati yang tergerak untuk menjauh. dan tak akan ada alasan "jarak" untuk persahabatan yang terhenti.


untuk orang-orang yang sibuk mencari alasan karena masa lalu yang belum tuntas: masih ada pertemuan lain dalam siklus ini..

juga untuk sahabat-sahabatku se-Indonesia Raya, orang-orang tersayang, dan "My Next Husband": perpisahan kita belum waktunya :)

Palembang, 28 April 2010