Kamis, 25 November 2010

Shetha dan Kado Ulang Tahun Ibu

Tanggal 28 Oktober lalu Ibu saya berulang Tahun.  Ingin sekali rasanya bisa memberikan sesuatu yang bermakna untuk beliau. Mumpung sekarang saya sudah bekerja, saya bisa membeli sesuatu yang jadi kesukaan Ibu.
Saya bukanlah orang yang romantis, jarang memberi kejutan, termasuk dengan keluarga sendiri. Bahkan untuk memberi kado Ibu, saya merasa perlu untuk menelepon terlebih dahulu apa yang beliau inginkan (anak yang menyebalkan, bukan?)
Saya pikir karena domisili saya yang sangat jauh dari orang tua, saya akhirnya memutuskan untuk mengirimkan sesuatu yang menjadi ciri khas kota domisili saya sekarang. Empek-empek Palembang (kebetulan Ibu sangat suka), coklat Van Houten, dompet bermerk favoritnya biarpun tidak semahal aslinya (bisa dibunuh Bapak kalau saya menghabiskan ratusan bahkan jutaan rupiah hanya demi sebuah dompet yang belum tentu nilai isinya lebih besar dari harganya), juga Kamus Inggris-Indonesia tebal untuk Adik saya. Kebetulan Adik saya berulang tahun 3 hari setelah hari ulang tahun Ibu, dan memang Kamus itulah satu-satunya hal yang diinginkannya.
Sebelumnya dalam percakapan telepon, Ibu tidak meminta apa-apa. Beliau hanya menginginkan saya untuk hemat. Untuk menabung. Keluarga sedang dalam ekonomi sulit. Lagipula siapa tahu nanti ada keperluan mendadak. Dalam percakapan telepon itu juga, saya sempat berbicara dengan Adik paling bungsu. Masih SD, Shetha namanya.
Begini kira-kira potongan pembicaran kami;
Saya: “Halo Shetha, lagi ngapain?”
Shetha: “Lagi nonton tipi. Kak Titi kapan ke sini?”
Saya: “Mungkin tahun depan. O iya, bentar lagi kan ibuk ulang tahun, kamu ngasi kado apa?
Shetha: “Aku belum bisa ngasi. Aku ga punya uang. Aku ngasi ucapan selamet aja.”
Saya: “Lho, emang ngasi kado harus punya uang dulu?”
Shetha: “Emang bisa kalo ga punya uang?”
Saya: “Bisa…. Dulu pas Titi seumuran kamu, Titi nabung tiap hari, biarpun cuma bisa seratus perak. Dulu Titi cuma bisa beliin Ibu susu anget ama cokelat kesukaannya. Pake nyalain lilin batangan, trus ucapin deh, selamet ulang tahun. Yang penting niat.”
Shetha: “Oo, kayak gitu ya? Iya deh, nanti aku coba.”
(Kalimat terakhirnya terdengar bersemangat sekali).
Saya tahu persis bagaimana Shetha dengan masa kecilnya. Tak jarang dia menunjukkan sikap lebih dewasa dari saya, dari kakak-kakaknya bahkan dari orangtuanya sendiri. Ya, itu Shetha, adik kebanggaan satu-satunya yang sering dibanding-bandingkan dengan saya yang kata orang sudah sukses di rantauan tapi masih begini-begini saja.. Shetha yang berhasil meyakinkan orangtua dengan calon suami Saudari saya. Shetha yang berhasil mencairkan suasana rumah yang semakin hari semakin membeku bahkan hampir hilang kepercayaan masing-masing penghuninya. Shetha yang berhasil membuat seorang anak berbibir sumbing mau kembali ke sekolah setelah mengalami trauma panjang dengan cemooh teman-temannya. Shetha yang justru melindungi temannya setelah temannya itu memukulinya sampai berdarah. Shetha yang sering menolak pemberian kue kecil dari tetangga dengan alasan tetangga itu masih memiliki anak kecil yang menurutnya lebih pantas diperhatikan. Shetha yang berhasil membujuk Bapak dengan segala cara untuk tidak menghisap rokok lagi (saya ingat betul bagaimana dia meninggalkan layang-layangnya dan berlari sambil ngamuk-ngamuk mengejar Bapak yang ketahuan membeli sebatang rokok di warung. Shetha yang sering dibilang bodoh oleh orang-orang termasuk gurunya sendiri, padahal buat saya kecerdasannya melebihi siapapun. Semakin hari saya melihat perkembangan dan pertumbuhan pola pikirnya, semakin malu hati ini dibuatnya. Tidak sebanding rasanya jika semua cerita tentang kehidupan saya selalu dibesar-besarkan oleh Ibu. Ibu ingin Shetha punya teladan, punya contoh supaya tetap semangat dalam hidupnya. Dan memang itulah yang terjadi. Shetha selalu menjadikan saya sebagai sosok kakak yang harus ia contoh. Dan buat saya beban itu terlalu berat. Saya jauh dari sempurna. Bahkan tanpa seorangpun tahu, kadang saya menangis sendirian mengingat keburukan kekotoran, dan kebodohan saya yang selalu saya tutupi dengan senyuman dan kesabaran.
Dan sudah menjadi kebiasaan kami kakak-kakaknya, yang lupa bahwa Shetha hanyalah anak kecil. Dia hanyalah anak SD yang baru masuk kemarin. Kami lupa bahwa perbedaan usia antara kami dan Shetha terpaut belasan tahun. Kadang kami membebaninya terlalu berat. Dia terpaksa harus mengerti kondisi keluarga sementara mengesampingkan kebutuhannya sebagai anak-anak. Bermain-main dan memperoleh kasih sayang.
Beberapa hari setelah itu terdengar kabar dari Saudari perempuan saya, tentang tingkah adik semata wayang kami itu.
Kakak: “Eh Tri, udah tau belum, ceritanya Shetha di sekolahnya? Nangis, dia.”
Saya: “Emang kenapa dia? Berantem?”
Kakak: “Gini ceritanya, hari Kamis lalu(tanggal 28 Oktober), dia dapet pelajaran Budi Pekerti di kelasnya. Entah apa yang ada di kepala anak itu, pas Bu Gurunya nyeritain tentang kasih sayang seorang Ibu, pengorbanan Ibu, bagaimana seorang anak harus menghormati ibunya, eh,.. dianya nangis. Mukanya ditelungkupkan ke meja. Sesenggukan. Temen-temennya sampe ngerubungi, bu Gurunya juga. Semua pada nanya kenapa dia nangis. Sambil sesenggukan, Shetha bilang kalo dia inget ibunya di rumah. Dia bilang kalau dia ga bisa jadi anak yg berbakti, bahkan udah berusaha semampu dia, tapi tetap ga bisa ngasi apapun ke Ibuk. Padahal hari ini ulang tahunnya Ibuk. Dia cerita tentang kondisinya di rumah, tentang ibuk, tentang keadaan rumah, tentang keluarga kita. Ceritanya dia bikin temen-temennya terenyuh. Tanpa dikomando sama siapapun, semua temen sekelasnya berinisiatif keluar kelas saat itu juga buat nyariin Shetha bunga mawar. Shetha dikasi dua tangkai. Satu untuk Ibuk, satu untuk Shetha. Temen-temen sekelasnya juga nyumbang duit buat Shetha demi bisa beli sesuatu buat Ibuk. Dan sepulang dari pelajaran Budi Pekerti itu, satu kelasnya Shetha berbondong-bondong ke rumah, nganterin Shetha sekalian pengen nyari Ibuk. Yang jelas Ibuk kaget. Temen-temennya nyanyi lagu Selamat Ulang Tahun trus ngucapin doa satu-satu ke Ibu. Kalo dipikir-pikir lucu ya, Tri.. kok bisa ya dia punya pikiran gitu. Sementara dia sendiri ga terlalu mikirin perayaan ulang tahunnya sendiri. Biasanya anak laki-laki kan jarang punya tingkat emosional kayak gitu..”
Saat itu dengan telepon masih nempel di kuping, air mata saya bercucuran. Bukan kebiasaan keluarga kami untuk menunjukkan sikap berlebay-lebay seperti ini. Keluarga kami tergolong jaim. Cuek. Jauh dari nilai kekeluargaan seperti di sinetron keluarga Cemara. Dengan suara tertahan saya masih melanjutkan percakapan.
Saya: “Itu beneran Shetanya kita kan? Bukan cerita karanganmu? Hahaha, ada-ada aja……………….

Jumat, 29 Oktober 2010

Cinta dan Tuhan itu Satu

Saat aku memutuskan untuk mencintaimu, aku dihadapkan pada ratusan konsekuensi yang harus aku terima, ikhlas atau tidak...

Kata mereka kita terlalu berbeda. Sangat berbeda. Bukan cuma agama, tapi juga adat, kebiasaan, pola pikir,  hidup, bahkan cara kita menikmati cinta itu sendiri..

Dan dengan sombongnya kita bilang kita bisa. Dengan gaya anak muda zaman 'saat itu' yang idealis, kita bilang kita akan terbiasa. Dengan dalih menghargai keberagaman kita, kita bilang ini bukanlah apa-apa. Mungkin tepatnya belum apa-apa. Entah apa yang membuatNya menginginkan kita jatuh cinta..

Sampai detik ini aku bersamamu, lukisan diri kita menjadi semakin kontras. Semakin tegas warna perbedaan menciptakan bayang-bayang. Akan selalu ada masa penyesuaian sampai kita benar-benar menghancurkan jurang pembatas yang diciptakan Sang Pencipta. Aku mengikuti pola hidupmu, atau kamu menjadi apa yang aku mau. Aku mengikuti adat nenek moyangmu, atau pola pikirmu keracunan pola pikirku. Kita selalu mencoba menyesuaikan masing-masing dengan bayangan cermin dalam kepala kita. Bukankah cermin yang harus menyesuaikan bentuknya agar mirip seperti kita apa adanya?  Entahlah, penyesuaian ini tak akan ada akhirnya. Sesungguhnya inti dari hubungan ini bukanlah menghancurkan perbedaan, tapi menerima kenyataan bahwa kita memang begini adanya. Sampai kapanpun, sayang.. sanggupkah kamu?

Ketika aku akan memulai penyesuaian yang paling membutuhkan ruang privasi sekaligus empati, sempat terpikir dalam benakku, tepatkah menempatkan kamu sebagai yang terakhir? Menempatkan dirimu menjadi imam bagiku sebagai mualaf kelak? Itupun belum menyelesaikan sebagian masalah. Kita belum selesai membangun jembatan untuk melewati jurang yang lain, jurang adat, sosial, keluarga, pola hidup, dan jurang-jurang lainnya. Walaupun selama ini aku bilang aku baik-baik saja, but there's a little pain behind "I'm okay", and there's a little "I need u" behind "leave me alone"..

Untuk satu konsekuensi yang membuatku kehilangan beberapa sahabat, seharusnya kamu tidak pergi dan membiarkanku mencariNya seorang diri. Bukan hanya untuk kali pertama, tapi untuk seterusnya, aku ingin berjalan seiring. Bukan digiring.

Sanggupkah kamu menjadi seperti itu, sayang?
Mungkin kita akan meninggalkan kebiasaan kita masing-masing. Kebiasaan duduk bersama, yang dalam tiap shalatmu ada namaku, begitu juga aku yang dalam tiap Tri Sandhya aku tak lupa menyebutkan namamu. Ya, kamu sebagai salah satu dari orang-orang terkasih yang kuselimuti selalu dengan doa agar senantiasa diberi keselamatan baik dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Tuhan, kata orang bijak Kau cuma ada satu. Karena perbedaan kami menyebut dan bersembahyang kepadaMu, sampai hatikah bila doa-doaku tak Kau sampaikan padanya?

Aku menunggu, Tuhan..

Palembang, 29 Oktober 2010

Senin, 25 Oktober 2010

K O P I

Saya bukan coffeeholic. Tapi tiap kali minum kopi, saya menikmati semua rasa yang ditimbulkannya. Gemetar, berdebar, atau mual.

Saya ingat pertama kali minum kopi saat masih kecil. Bapak ketika itu mengajak saya pulang kampung, pergi ke rumah kakek dengan jarak tempuh satu jam naik sepeda motor. Kecepatan bapak-bapak tentunya. Kalau dibandingkan dengan kecepatan sepeda motor kakak saya yang laki-laki mungkin bisa didapat selisih waktu tiga puluh menit.


Saat kecil saya gampang sekali tertidur kalau kena angin, dan itu sering sekali membuat Beliau marah. Anak kecil mana yang tidak tertidur kalau diangini selama satu jam? Saking seringnya saya tertidur diatas kendaraan, Bapak sering berhenti di jalan untuk membelikan saya kopi pekat dan kue-kue yang membuat saya selalu senang. Dari situlah Kopi dan Saya berkenalan. Karena dijodohin Bapak.


Saya paling gampang terpengaruh oleh kopi. Ada rasa gembira yang luar biasa yang saya rasakan sehabis minum kopi. Ketika merasa sepi, penat atau jenuh, pelarian saya pasti ke kopi. Biasanya beberapa menit setelah cangkir kopi tandas, yang paling pertama terasa diaduk-aduk adalah uluhati, lalu (sepertinya) ke jantung. Karena detak jantung serasa makin keras, sampai terasa ke kulit-kulit, ujung jemari bergetar halus, yang membuat saya tidak bisa diam. Rasanya ingin teriak, atau menelan sesuatu. Tangan ini ingin selalu terkepal. Dan di saat seperti ini saya harus mengerjakan sesuatu. Harus mencari sesuatu demi mengimbangi sensasi yang saya rasakan. Biasanya mengetik adalah kegiatan yang pas. Saya belum pernah tanya teman atau searching d internet, benarkah efek kopi itu seperti ini? Menyenangkan, bikin gila, dan kadang menegangkan. Demi rasa yang berdebar-debar itu, saya rela gemetaran, saya rela sakit perut atau mual-mual. Demi mencari sensasi caffein.

Atau demi sensasi memori masa kecil? :)

Palembang, 25 Oktober 2010

Kamis, 02 September 2010

Duri

Sekali lagi

Menara yang sudah dibangun tinggi ini harus roboh.

Menara yang tinggi karena fondasi mimpi yang terlalu kuat
Bahkan terkesan muluk

Tahukah kamu bahwa aku menyelipkan satu rasa lagi dalam fondasi ini?

Yang terpaksa harus kucabut kembali dan membuat semuanya
roboh sia-sia ketika kau menyulapnya menjadi duri.

Aku tak kan minta maaf karena aku lebih mencintai diri sendiri
biarlah duri itu terbang ditelan angin
dan luka ini berbuah nanah
agar baunya menusuk hingga tepat ke jantungmu
karena senjata tak ada padaku untuk membalas kasihmu

Jangan ajukan satu pertanyaanpun padaku,
dan jangan sekali-kali kamu membela diri
toh menara ini sudah rata dengan bumi

Seperti kamu ketahui, pencarianku sudah usai
bukan karena menemukan apa yang aku cari
tapi karena aku lelah mencaci

Aku akan anggap ini semua permainan hati
kini, dan nanti.


Palembang, 3 September 2010

Rabu, 28 April 2010

Perpisahan yang Sudah Waktunya

saya suka membaca tulisan Dee (Dewi Lestari) di blognya. pernah suatu ketika saya membaca tulisannya yang berjudul "catatan tentang perpisahan". ditulis tahun 2008, tapi baru saya baca tahun ini.

lepas dari niat mendompleng nama tenar Dee dalam dunia tulisan, saya hanya hendak memaparkan apa yang saya rasa, yang membuat saya "gatal" ingin berbagi karena saya tidak tahu kemana lagi harus mencurahkan apa yang selama ini saya pendam. sahabat saya terpencar ke seantero provinsi di Indonesia, karena tanggung jawab pekerjaan kami yang memang sejenis.

perpisahan yang ada di pikiran saya mungkin sejenis seperti yang tergambar dari tulisan Dee. saya tak bisa bilang "sama" atau "persis" seperti Dee karena isi pikiran kami toh hanya kami masing-masing yang tahu. saya setuju bahwa perpisahan sama eksisnya dengan pertemuan dan saling melengkapi seperti dua sisi koin yang saling berseberangan dan menempel satu sama lain. kita semua setuju.
kenyataan yang sering kita temui seringkali perpisahan itu disesali, ditangisi, diumpat, dan berbagai penyesalan dalam bentuk lain yang tergambar sebagai efek dari perpisahan itu sendiri. seperti yang banyak dilakukan sahabat2 saya termasuk saya sendiri dalam perpisahan seusai pelatihan di Makassar beberapa minggu lalu.

pada awalnya siapapun tak kan pernah siap dengan perpisahan. belum siap berhenti untuk menikmati kondisi nyaman yang timbul karena kebersamaan atau pertemuan.
padahal kita semua sudah tahu, dalam sebuah hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab suatu perpisahan. seperti dalam "catatan tentang perpisahan", penyebab yang paling dasar menurut saya adalah: memang sudah waktunya. hidup punya kadaluarsa. hubungan pun sama. entah hubungan pertemanan, pacaran, bahkan pernikahan.
saya tekankan di sini kadaluarsa hubungan pertemanan yang saya maksud bukan berakhirnya pertemanan, tapi pertemanan yang tidak sama seperti kondisi dulu lagi ketika semua bisa dan biasa dilakukan bersama karena kedekatan masing-masing.

saya punya definisi sendiri tentang kata "perpisahan". perpisahan bisa terjadi ketika fisik tak lagi dekat karena jarak. dalam hal ini saya tak mempermasalahkan jarak sebab sejak empat tahun yang lalu saya sadar bahwa saya memilih hidup di rantauan, dengan pekerjaan yang kurang memungkinkan untuk tinggal menetap di satu tempat apalagi dengan keluarga. jarak akhirnya justru menjadi sahabat saya yang paling awet. di saat saya mulai berpisah dengan para sahabat, hanya jarak yang tersisa diantara kami.

alasan kedua, perpisahan juga bisa terjadi karena hati tak lagi dekat, karena sesuatu yang sulit kita ungkapkan. sesuatu yang sulit dijelaskan itulah yang akhirnya dicari-cari, dijadikan penyebab, bahkan jika dibumbui dengan pikiran negatif akhirnya dijadikan objek pelampiasan kesalahan. misalnya saja ketika sepasang kekasih memutuskan hubungan mereka. otomatis orang2 sekitar akan bertanya alasan penyebab kegagalan hubungan.

di saat rasa kecewa menguasai, orang sering mencari pelampiasan dengan mencari penyebab kekecewaan mereka. jika tidak, ketenangan jiwa kita bisa terusik. beberapa orang sekitar saya yang curcol ternyata mempunyai masalah yang sama: sibuk mencari alasan ketika tak siap dengan perpisahan. ada hal yang belum sempat dituntaskan, masih memiliki pertanyaan besar yang belum diketahui jawabannya, hingga akhirnya malah mengganggu ketenangan jiwa salah satu atau beberapa pihak, atau yang paling parah justru mengubah seseorang menjadi psikopat!

mencongkel dari pengalaman pribadi, saya sempat memiliki pengalaman menjadi "pencari alasan" perpisahan saya dengan seseorang yang saya kagumi, sosok yang sangat saya inginkan saat itu. berbulan-bulan lamanya saya terganggu dengan perasaan kecewa, minder, merasa bodoh dan sebagainya. saat itu saya butuh jawaban langsung. setelah merasa cukup siap, saya mendatangi tempat orang tersebut dengan menempuh perjalanan sejauh 977 km Jakarta-Tabanan untuk pencarian alasan. hanya untuk mencari jawaban. setelah saya temui, yang bersangkutan masih tetap sama seperti dulu. bahkan cenderung lebih buruk. anehnya rasa penasaran itu hilang. saya tidak lagi mencari alasan. yang saya butuhkan selama berbulan-bulan itu ternyata hanyalah rasa "menerima" yang sumbernya dari dalam diri sayasendiri..

u can't forget if u can't forgive sepertinya benar..

kesibukan mencari alasan membuat saya lupa bahwa ada cara lain untuk tenang. ada jawaban tunggal atas pertanyaan sejenis yang telah menyerang saya bertubi-tubi: perpisahan ini sudah waktunya.

seperti siklus pada umumnya yang berputar seperti lingkaran, akan ada fase  pertemuan dan perpisahan bagai dua mata koin yang saling melengkapi walaupun berseberangan. perpisahan juga punya masanya. orang-orang yang belum bisa menerima mungkin akan mencari atau membuat alasan untuk menenangkan dirinya sendiri. sepasang kekasih yang berpisah karena rasa bosan, ada orang ketiga, pasangan sudah berubah, pasangan dikatakan berselingkuh, semua cuma modifikasi dari alasan "perpisahan yang sudah waktunya". kalau toh belum waktunya, alasan apapun tak akan memisahkan mereka. tak akan ada yang protes karena perubahan pada diri seseorang, tak akan ada hati yang tergerak untuk menjauh. dan tak akan ada alasan "jarak" untuk persahabatan yang terhenti.


untuk orang-orang yang sibuk mencari alasan karena masa lalu yang belum tuntas: masih ada pertemuan lain dalam siklus ini..

juga untuk sahabat-sahabatku se-Indonesia Raya, orang-orang tersayang, dan "My Next Husband": perpisahan kita belum waktunya :)

Palembang, 28 April 2010