Sabtu, 26 Desember 2009

Gamble

Tulisan ini hanya sekedar coretan iseng di atas kertas bekas yang tadinya tak pernah saya sangka akan jadi sepanjang ini. bukan untuk maksud macam2, hanya menuangkan sekelumit pemikiran dari hasil obrolan dengan beberapa orang yang bisa saya sebut sahabat, kakak, dan kekasih. tulisan yang saya awali entah kapan dan saya tak yakin akan diselesaikan atau tidak. karena saya tak punya standar khusus untuk tulisan yang saya anggap "sudah selesai"...

di satu pojok suatu tempat terpasang obor kecil, dua buah, masing-masing memendarkan cahaya remang penambah eksotis suasana. dua orang membawa tas lumayan besar tampak sedang bersiap-siap. selembar tikar digelar. disitu duduk seorang bandar, membeber lembaran kayu yang cukup besar bertuliskan angka satu sampai sepuluh yang masing-masing terbagi dalam sepuluh kotak. empat sisi lembaran itu dipasangi balok-balok sedemikian rupa agar bola penentu angka tahu diri untuk tidak keluar dari arena permainan. mengundang keramaian pada sebuah tempat yang sepi ternyata cukup sederhana.

seseorang melempar selembar sepuluh ribuan pada angka sembilan. yakin bahwa jawaban tunggalnyalah yang akan menang. sedangkan seseorang yang satu lagi melempar tujuh lembar uang seribuan pada tujuh angka yang berbeda. tampaknya orang yang satu ini mengerti rumus peluang, dan benarlah, rumus itu membawa keberuntungan. kenapa baru dua orang yang saya ceritakan? sabar dan tunggu beberapa menit, sebentar lagi kedua orang ini akan menantang orang-orang sekitarnya untuk ikut turun, licin merangkai kata dan kalimat sedemikian rupa dan memanfaatkan kelemahan orang-orang sekelilingnya pada satu istilah yang mereka sebut; harga diri. tak perlu si bandar mempromosikan permainannya. sifat alami manusia sudah menjadi harga mati untuk punya pelanggan tetap.

kenapa yang dihimbau untuk dihindari kerap dicari? ada sensasi tersendiri ketika main judi. kita merasa tertantang untuk menjadi pemenang, menjadi tempat persinggahan dewa judi. tak ada rumus untuk itu. semuanya murni dari dua faktor; keberuntungan, atau kebuntungan. kalaupun ada rumus peluang, itu tak dapat menjamin mutlaknya seseorang bisa menjadi pemenang dalam dunia perjudian, bahkan justru bisa sebaliknya; menjadi pecundang. kata orang, kuncinya hanya satu: berani.

lalu kenapa judi itu harus dihindari?
bagaimana dengan kehidupan? bukankah kehidupan ini sudah merupakan ladang perjudian? kita bahkan tak tahu peluang apa yang mungkin terjadi dan seberapa persen nilai peluang keberhasilan kita. beberapa orang menyebut judi sejenis ini sebagai: mengadu nasib.

apa yang salah ketika mengadu nasib? euforia tertantang yang dirasakan sama, ketidaktahuan kita akan peluang itu sama, suka duka yang dirasakan mirip. keberanian sebagai patokan kunci, apalagi. apa karena suatu kondisi keterpakasaan? mencari kemakmuran hidup menumpuk kekayaan setinggi2nya? kurasa tidak. di daerah asalnya masing-masing saya yakin seseorang sudah diberi kesempatan dan rezeki yang cukup untuk sekedar hidup. dan saya masih tetap percaya pada kalimat yang sempat dibawakan oleh salah satu teater kampus saya pada suatu pembacaan puisi; "Ya, masing-masing dari kita kan, punya rezeki sendiri sendiri2.."

hidup itu sendiri (terutama para perantau) sudah merupakan ladang perjudian yang amat besar, tak terbatas berbagai kemungkinan. sudah banyak saya dengar kisah sahabat-sahabat atau orang lain yang kerap mereka ceritakan pada saya, terjebak dalam kerasnya hidup dan dibingungkan oleh pilihan yang menurut mereka seperti buah simalakama. tak sedikit yang akhirnya merasa gagal dan ingin bunuh diri, tak sedikit juga yang sepertinya sulit menerima apa yang terjadi tapi hidup itu tetap mereka jalani. sebagian lagi menemukan apa yang mereka cari tanpa harus merasa tersesat ke mana-mana, karena ke mana kaki berpijak apa yang mereka cari sudah datang sendiri. (Jai Guru Dev)

yang saya lihat di beberapa daerah, pandangan orang tentang berjudi dengan hidup tetap lebih terhormat. kalah atau menang kita tetap dianggap sebagai pemberani. paling tidak kita sudah berani untuk memulai. seperti apa akhirnya, tergantung kemampuan masing-masing. tergantung keberanian dan kepintaran kita menghadapi kerasnya hidup itu sendiri. berani untuk gagal, berani untuk berkonsekuensi. judi yang akan terhormat jika kita tetap memakai otak kita untuk terus berputar. bukan asal pasang atau menggunakan perasaan semata ketika kaki dihadapkan pada banyak pilihan.

kata orang hidup itu seperti roda, kadang kita berada di titik terendah, lalu bisa saja suatu waktu kita berada di puncak kejayaan. diibaratkan judi yang tiada habisnya, kita senantiasa memperoleh kemenangan dan kekalahan di tiap permainan yang terus berulang. kapan kita benar2 menang atau kalah tergantung kapan kita mengakhiri permainan itu. kita akan kalah, saat kita merasa salah pilih dan mengakhiri pertaruhan. tak mau mencoba kesempatan kedua untuk mengejar nilai kekalahan kita. pergi dari arena tak akan membuat anda mendapat apa2, bahkan pengalaman pun tidak. apa yang pantas diceritakan dari kisah kekalahan?

justru keberanian itu baru pantas diucapkan untuk orang-orang yang mencoba mengambil kesempatan kedua. setelah sesuatu membuatnya jatuh ke tanah, pada tanah itu pula dia bertumpu untuk bangkit kembali. seperti kekalahan yang justru memotivasi seseorang untuk memulai lagi dan berproses untuk menang.

semua tergantung ke diri sendiri. kita masih berdiri di atas kaki kita sendiri dan tetap terlindung oleh isi kepala yang tak pernah berhenti berputar. dan menurut saya judi yang ini bukan sesuatu yang terlarang untuk dijalani. judi kehidupan.



untuk sahabat, orang2 terkasih yang berdedikasi atas hidupnya sendiri dan orang lain.
semoga kebaikan datang dari segala penjuru. jgd.

kesempatan berbagi pikiran di lain waktu mungkin akan mengubah isi atau makna dari tulisan ini.

Jakarta, 30 Agustus 2009

Saya Suka Menulis

suka nulis?
aku suka. suka banget. sangat suka. tapi ngomong-ngomong kata "suka" itu apa artinya? kalau aku nulis karena aku ngerasa sepi, bosen sendiri, apa bisa dibilang menulis adalah kesukaanku? kalau ternyata menulis hanya refleksi rasa kesepianku atas ketiadaan teman mengobrol untuk berbagi segala macam hasil pemikiran, apa menulis masih bisa dibilang kegemaran--bukan keterpaksaan atas suatu keadaan yang tak diinginkan? karena biasanya di sekelilingku hanya ada kertas dan pena untuk dijadikan media berbagi. entah dengan siapa. atau laptop dengan segala kemudahannya di era modern yang katanya berteknologi tanpa batas tapi masih sangat tergantung aliran listrik dari PLN yang idup-matinya fluktuatif. maaf, bukan ingin menghujat produsen laptop, atau siapapun yang mengambil keuntungan dari keberadaan laptop (karena aku salah satunya). cuma ga setuju ama gembar-gembor modernisasi yang tampaknya berlebihan. modern itu perubahan. modern itu kemajuan. bukan ketergantungan.

eniwei, aku suka ada yang menemani aku berbagi kali ini. laptop, dan modem :)
18 Oktober 2009

Selasa, 22 Desember 2009

Kantor

kalau ada yang bertanya, saya jawab kan saya baru magang di sini. kalau ada yang protes, saya berdalih saya baru magang di sini. hingga kalau saya membutuhkan pertolongan orang lain, saya menggunakan 'posisi lemah' lewat kata-kata "saya baru magang di sini."

lalu kapan predikat itu copot pada diri saya?

sempat saya berpikir untuk ikut campur semua urusan kantor. biarpun baru beberapa hari, saya bosan jadi "yang ga tau apa-apa". dari hal besar sampai hal kecil. masa saya ga tau gimana caranya nyari ruangan ketua instansi saya? gara-gara ga berani izin sekedar orientasi sama lingkungan, gara-gara takut ditegur suka bolos jam kerja yang ga padet2 banget. saya jadi harus kucing-kucingan. curiga-curigaan sama satpam gara-gara bolak-balik seperti penyusup yang mau ngebom kantor xxx yang segede gambreng. kalau dipikir-pikir lucu sih..sepanjang jalan ga pernah bibir saya bisa nahan ketawa karena kejadian konyol. apalagi hampir terkunci di salah satu ruangan gara-gara ga nemu pintu saking miripnya bentuk pintu sama dekorasi dinding. yang susah nyari lift sampai harus lewat pintu darurat atau terpaksa berjejelan di dalam lift pengangkut barang sama cs-cs kantor.. ujung-ujungnya dari ruangan ke ruangan mesti keluar bangunan dulu terus jalan kaki sampai pintu yang kira-kira deket sama ruangan kantor baru naiknya pakai lift lagi. yang sampe kehujanan dan basah-basahan sampai harus ngeringin baju sama rambut pake mesin pengering tangan elektronik di kamar mandi sambil ngangetin badan..

hmmm.... jadi pegawai baru itu selalu konyol.. bertanyalah selagi bertanya belum menyesatkan jalan...

22 Desember 2009
siang hari mendung di salah satu gedung pinggiran Gatot Subroto.

Senin, 21 Desember 2009

Intuisi

percayakah kamu akan takdir? seberapa dalam intuisimu bekerja? dan seberapa erat hubungan antara intuisi dan perilaku alam? aku tak pernah tahu pasti. tapi aku merasakannya. kebetulan yang aneh memang,,,,


intuisi membawa kita kepada sesuatu yang kita sendiri sulit jelaskan latar belakangnya. ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi sebagai indikator kemajuan peradaban tak juga mampu menjelaskannya. dan intuisi itu pernah mendatangiku. membawaku kepada banyak harapan tak pasti namun pada akhirnya aku raih juga harapan itu. mungkinkah ini yang dimaksud doa yang terkabul? tapi aku tak pernah berdoa untuk itu. aku hanya berharap. harapan yang menurutku tak akan terwujudpun tak apa-apa.. aku hanya mengarahkan kaki, tangan, mata, pikiran, dan seluruh indria yang kumiliki ke satu tujuan. sebelum aku menyadari alasan untuk segala perbuatan yang kulakukan, apa yang kuharap sekonyong-konyong sudah di depan mata. jika ada satu kekuatan besar yang menggerakkan seluruh indria dan pikiran yang kumiliki, aku ingin tahu mengapa Ia mengarahkanku menuju satu tujuan .. dan apalah artinya harapan kecil yang kumiliki untuk mempengaruhi satu kekuatan besar itu.. yang ternyata tidak hanya menggerakkan kaki, tangan, mata, pikiran, dan seluruh indria yang kumiliki, tapi juga milik orang lain yang pada akhirnya membantuku menuju harapan kecilku..


dan bila kotak harapan kecil ini boleh kuisi lagi, bolehkah aku mengharap untuk tetap terjaga dalam ikhlas yang mendamaikan ini?


Jogjakarta, 13 Desember 2009
untukmu yang ikhlas menunggu,,

Ruang Kosong

sesuatu yang kutakutkan sepertinya bakal terjadi. kehilangan rasa. hati ini kosong di ruang yang seharusnya butuh diisi. aku tak mau kehilangan spirit sebagai manusia, sebagai perempuan. biarpun menyakitkan, aku ingin rasa itu tetap ada. biarpun melukai, aku ingin rasa itu terpelihara. sakit dan luka juga bagian kehidupan, dan tak ada yang salah dengan pilihan untuk menikmatinya, toh semua bebas memilih. pernahkan terpikir tentang manusia dengan kehidupan lancar dan datar-datar saja tanpa kerikil atau batu yang walaupun mengusik tapi kadang bikin geli untuk diinjak lagi?
atau hidup memang seperti balado sambal cabe? kurang pedas kurang asyik, terlalu pedas juga salah. butuh takaran yang pas supaya penikmat tetap bertahan, tetap betah dengan rasanya. apa aku sudah buat t akaran yang pas untuk hidupku sendiri? lagi2 rasa yang harus dipakai..

aku harus mulai dari nol lagi..

karena aku manusia. selalu mempertanyakan tentang kehidupan.

lalu apa yang bisa kulakukan untuk hidupku sendiri jika sekarang tinggal rasa hambar dan kebosanan tingkat tinggi yang kurasa tiap aku berhadapan denganmu?

dulu kupikir aku tak akan bisa lupa dengan euforia ini. ternyata tak perlu jauh2 mencari orang yang bisa menenangkan aku.. aku hanya perlu berdialog untukku sendiri. cuma aku yang bisa selamatkan pikiranku sendiri. semakin kuhindari semakin sulit aku lepas dari pengaruh dia, lepas dari ketergantungan akan dia. perlu pertengkaran batin untuk meyakinkan kalau aku bisa untuk tidak tergantung dengannya lagi. perlu dipertanyakan kenapa aku masih bertahan dengan mimpi yang membuatku munafik tak ingin terbangun karena ternyata aku hanya bermain2 dengan sosok yang kuciptakan sendiri dalam mimpi ini.

dan sosok itu kamu. mengambil wujudmu. hanya beda sifat. dalam mimpi aku bisa merekayasa ceritanya semauku, menjadi happy ending. dan membangunkan aku hanya membuat akhir ceritanya jadi lain.


ada yang bilang hidup yang tak pernah dipertanyakan adalah hidup yang tak layak untuk diteruskan. dan pertanyaan sekaligus pencarianku setelah hibernasi jutaan tetes air mata,


siapa yang bakal mengisi ruang kosong ini lagi?




18-02-2009
sore-sore, bertiga mengisi ruang kosong yang sama.
entah karena Takdir sedang usil mempertemukan kita
-ANT-


Surat untuk Lakon

kucoba mengingat detil surat yang tertuju buatku itu. mustahil kulakukan, ingatan akan isi surat itu lenyap bersamaan dengan hilangnya gelap malam tersapu sinar matahari.

surat itu memang cuma ada dalam mimpi. dan kamu pun memang cuma ada dalam mimpi. mungkinkah mimpi itu cuma refleksi keinginanku agar ada orang yang menemaniku di sini, dalam kondisi yang sama-sama bingung?
isi surat itu, pesan yang tertulis di kertas bekas itu, semua isinya hampir menggambarkan apa yang selama ini tertahan, tak terucap bahkan tak sempat terpikir olehku. entah karena memang benar-benar tak terpikirkan olehku atau aku yang berusaha untuk tidak mencoba berpikir ke arah sana. aku menghindar. selama ini aku pura-pura sibuk. aku mencoba untuk asyik dengan duniaku sendiri, melupakan detil permasalahan yang kira-kira bakal muncul. sampai akhirnya kubaca sendiri surat itu.

ah, seandainya ingatanku tajam.

sedikit memori yang tersisa hanya seputar menjadi diri sendiri, mengikuti arus, sikap pasrahmu yang sepertinya tidak biasa, harapan-harapan yang kau nyatakan, apa yang membuatmu bertahan, serta keberanianmu mempertahankan sikap di tengah lingkungan yang sama sekali tidak bersahabat. tapi seolah semua hanya ingin menunjukkan keadaan yang sebenarnya untukku. kenyataan yang tak kan tergapai oleh keinginan. semua terasa nyata di depan mata. perlahan, menusuk, membuatku sakit dengan cara yang lain.

hidup ini seperti mainan saja. seperti membawa lakon dalam sebuah pementasan, bedanya hanya kita tak membawa naskah-bahkan tidak membacanya-hingga saat kita benar-benar tampil dalam pementasan itu. dan semua yang terjadi sejalan skenario sudah.
kita biarkan tubuh dan pikiran ini terbawa arus. seperti kata suratmu (yang detilnya aku tak ingat). atau seperti kata-kataku yang tertulis di surat yang mengambil sosok dirimu dalam mimpi untuk kemudian menyerahkan surat itu ke diriku sendiri.

bunga tidur ini terlalu aneh buatku. kata-katamu terlalu indah sekaligus tajam, menusukku dari berbagai sudut dan membuka mataku lebar-lebar, seolah ada tali halus di sekitar kita yang menggerakkan semuanya. mengarahkan kita akan ke mana termasuk mencengkram pikiran kita untuk mengambil keputusan. ya, tubuh ini masih belum milik kita.. aku, kamu, kita semua cuma lakon. lakon di layon.

apakah aku sedang dalam kondisi trans saat itu? kuharap ya, karena surat itu berhasil membuatku semakin ingin mempertahankan apa yang menurutku benar, walaupun masih banyak yang tidak setuju denganku saat ini.
ternyata aku harus membuat dulu seperti apa standar kebenaranku sendiri.


26 Des 08
masih menunggu takdir akan membawa ke mana.

-ant-

Rumah

Di atas tanah selebar kira-kira dua are itu rumahku berdiri. satu lantai. bukan rumah yang cukup besar untuk tujuh orang anggota keluarga tanpa seorangpun yang pergi merantau keluar. cukup sederhana, bahkan terlalu sederhana untuk ukuran sebuah rumah keluarga. bentuk yang sepertinya ala kadarnya hanya karena tukang bangunan yang kurang tuntas mengerjakan segalanya membuat kami harus terima apapun kondisi yang ada. dinding masih belum diplester semua. bahkan plafon tak terpasang sejak rumah ini ditinggali. tanpa lantai keramik, hanya plastik yang memisahkan kaki-kaki kami dari beton fondasi rumah. dan jangan harap akan menemukan banyak saklar sekedar untuk menghidupkan lampu. kabel-kabel terpasang, tergantung, dan berjuntaian sedemikian rupa untuk mengalirkan listrik dan di ujungnyalah lampu terpasang, bisa tergantung, bisa tidak. cukup diputar maka akan ada sinar yang menerangi ruangan baik siang maupun malam. usianya yang sudah sepuluh tahun lebih membuat kami selalu kuatir saat hujan, seolah-olah air hujan yang jatuh dari bocornya atap genteng bisa melelehkan isi rumah kami :). ya, rumah ini bahkan menurutku masih kurang layak untuk ditinggali. tapi apa daya, hati sudah terlanjur terbiasa kecewa melihat segalanya berantakan. hampir tak bisa bedakan mana sampah, mana barang terpakai, bahkan mana yang justru barang berharga. dibuang sayang, dipelihara ogah-ogahan. terlalu banyak 'personal meaning' pada tiap barang. bahkan kertas-kertas bertuliskan tulisan pertama buatan adikku saat ia berumur tujuh tahun enggan dibuang. "ini untuk ibu," kata adikku.


tapi di rumah inilah aku mendapatkan segalanya. di rumah inilah aku belajar untuk bebas bermimpi.


selalu ada alasan untuk kembali pulang. biarpun itu sekadar untuk tujuan cuci baju, tidur, atau kehabisan uang. tak pernah rumah ini kekurangan manusia sebagai penghuninya. kadang-kadang terisi penuh oleh seluruh anggota keluarga, dan tak jarang pula ada orang lain yang mengisi kamar tengah untuk numpang buat tugas, atau numpang tidur karena pulang terlalu malam. baginya tak ada rumah lain yang terbuka 24 jam untuk dijadikan tempat menginap saat terlalu malam pulang rapat atau alasan lainnya. lama-kelamaan makin sering dan makin banyak teman yang ingin menginap. kali ini bukan untuk tidur atau membuat tugas, tapi untuk menunggu pagi. hingga ikutlah aku terjaga hingga fajar untuk menghormati tamuku itu.


kata mereka, mereka ketagihan tinggal di rumah ini. kupikir ini basa-basi. jelas, sebagai ucapan terima kasih karena diizinkan untuk tinggal walaupun dengan struktur rumah yang agaknya sangat tak wajar untuk dibilang cukup memadai. kamar mandi saja pintunya hanya separo. tapi tampaknya mereka benar-benar ketagihan. tiap hari diskusi sampai pagi. atau hanya mengobrol di teras sampai tuan rumah terlihat menguap karena kantuk.


Jakarta, nun jauh dari asal.


dan kini, di perantauan, sepertinya aku mengerti maksud dari kalimat yang menurutku tadinya terkesan basa-basi itu. akulah yang kini mempunyai keadaan seperti tamu-tamu itu. tinggal selama beberapa hari lalu pergi lagi. aku sadar sejak aku pergi meninggalkan rumah aku tidak akan bisa kembali ke rumah itu seperti sebelum-sebelumnya. aku tidak akan bisa pulang dan menunggu pagi kapanpun yang aku mau. kini aku menjadi tamu di rumahku sendiri. tamu yang selalu rindu untuk berkunjung lagi. yang menanti cerita-cerita baru dari si pemilik rumah. potongan cerita yang tak pernah usai, yang selalu menyimpan tanda tanya. cerita yang dilihat, bukan didengar apalagi dibaca. terlalu banyak konflik terjadi setelah kepergianku dari rumah itu. hanya rumah itu yang bisa bercerita. hanya dia saksinya. dan aku tak akan pernah sanggup menterjemahkan bahasa yang digunakannya. enam belas tahun tinggal dalam rumah yang sama belum membuatku paham akan caranya berkomunikasi. mungkin aku yang salah, aku menyia-nyiakan enambelas tahunku untuk mendapat pengakuan dari luar, tapi lupa dengan asal-usulku sendiri. aku tahu ada yang salah dengan lingkunganku, dengan rumah ini maupun isinya. tapi aku pura-pura tak mengetahuinya. entah, seberapa dalam emosiku terlibat di dalamnya saat itu tapi seperti ada sesuatu yang ingin kuhindari dengan cara tidak ingin mengetahuinya sama sekali.
kata sahabatku, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki--kusebut demikian karena aku sadar ini sudah jauh dari ancang-ancang untuk memulai lagi. aku inginkan cerita itu secara utuh. karena hanya dengan itulah aku tahu kenapa semua ini ada, semua ini terjadi. kenapa aku, dan rumah ini berbeda. mungkin mengumpulkan potongan-potongan cerita itulah yang tadi sempat membuat beberapa orang ketagihan tinggal di rumah ini. menarik untuk diteruskan. dan aku sudah kecanduan untuk mendapat potongan baru.


aku ingin pulang.
tak peduli akan jadi apakah aku di sana nanti, anak merantau yang baru pulang, tamu, atau penghuni baru?